Selasa, 03 Maret 2015

LP CEDERA KEPALA

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA
DI RUANG BEDAH UMUM RSUD ULIN BANJARMASIN
A.    KONSEP DASAR PENYAKIT
1.      Definisi
Cedera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price, 1995).
Cedera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembbengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Smeltzer, 2000)
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera otak terdapat dibagi dalam dua macam yaitu :
a.       Cedera otak primer:
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
b.      Cedera otak sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
2.      Klasifikasi
Beratnya cedera kepala saat ini didefinisikan oleh The Traumatik Coma Data Bank berdasarkan Skore Scala Coma Glascow (GCS). Penggunaan istilah cedera kepala ringan, sedang dan berat berhubungan dari pengkajian parameter dalam menetukan terapi dan perawatan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
a.       Cedera Kepala Ringan
Nilai GCS 13 – 15 yang dapat terjadi kehilanga kedaran atau amnesia akan tetapi kurang dari 30 menit. Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak ada kontusio serebral dan hematoma.
b.      Cedera Kepala Sedang
Nilai GCS 9 – 12 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c.       Cedera Kepala Berat
Nilai GCS 3 – 8 yang diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.
3.      Etiologi
Cedera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
a.       Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal : kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
b.      Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.
c.       Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak.
d.      Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.
4.      Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis cedera kepala secara umum adalah:

·         Penurunan kesadaran
·         Keabnormalan pada sistem pernafasan
·         Penurunan reflek pupil, reflek kornea
·         Penurunan fungsi neurologis secara cepat
·         Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan darah, bradikardi, takikardi,hipotermi, atau hipertermi)
·         Pusing, vertigo
·         Mual dan muntah
·         Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisikAmnesia
·         Kejang
Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
a.       Cedera kepala Ringan (CKR)
·         GCS 13-15
·         Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
·         Tidak ada fraktur tengkorak
·         Tidak ada kontusio celebral, hematoma
b.      Cedera Kepala Sedang (CKS)
·         GCS 9-12
·         Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24 jam
·         Dapat mengalami fraktur tengkorak
c.       Cedera Kepala Berat (CKB)
·         GCS 3-8
·         Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
·         Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial
(Hudak dan Gallo, 1996)
5.      Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku  terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
6.      Komplikasi
a.       Kerusakan saraf cranial
·         Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
·         Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.
·         Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
·         Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
·         Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
b.      Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.
c.       Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
d.      Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.
e.       Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
f.       Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian
7.      Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak. Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan di rumah sakit antara lain;
·         Fasilitas CT scan tidak ada,
·         Hasil CT scan abnormal,
·         Semua cedera tembus,
·         Riwayat hilangnya kesadaran,
·         Kesadaran menurun,
·         Sakit kepala sedang-berat,
·         Intoksikasi alkohol/obat-obatan,
·         Kebocoran liquor (rhinorea-otorea),
·         cedera penyerta yang bermakna,
·         GCS < 15.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm.
Penatalaksanaan Khusus:
a.       Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
·         Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal
·         Foto servikal jelas normal
·         Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:
·         Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
·         Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
·         Adanya tanda atau gejala neurologia fokal
·         Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
·         Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah
b.      Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
c.       Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
·         Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
·         Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau jaw trust.
·         Monitor tekanan darah
·         Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan.
·         Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
·         Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
·         Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
·         Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
·         Profilaksis trombosis vena dalam
·         Profilaksis ulkus peptic
·         Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
·         CT Scan lanjutan
8.      Pemeriksaan Diagnostik
·         Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau ruptur atau fraktur).
·         CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
·         Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
·         MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
·         Thorax X rayUntuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
·         Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
·         Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
B.     KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.      Pengkajian
Pengkajian keperawatan meliputi:
·         Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
·         Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia)
·         Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
Ø  Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Ø  Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
Ø  Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Ø  Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
Ø  Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
Ø  Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
·         Bladder
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
·         Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
·         Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Kerusakan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan adanya edema serebri
b.      Ketidakefektifan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekresi dan sumbatan jalan napas
c.       Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas yang lama
d.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif dan penurunan kekuatan/tahanan.
e.       Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan luka pembedahan dan tindakan invasif
3.      Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Intervensi
Rasional
Kerusakan perfusi jaringan serebral
NOC Outcome :
-     Perfusi jaringan cerebral
-     Balance cairan
Client Outcome :
-    Vital sign membaik
-    Fungsi motorik sensorik membaik
NIC : Circulatory care
-     Monitor vital sign
-     Monitor status neurologi
-     Monitor status hemodinamik
-     Posisikan kepela klien head Up 30o
-     Kolaborasi pemberian manitol sesuai order
Mengetahui adanya resiko peningkatan TIK
Peningkatan aliran vena dari kepala menyebabkan penurunan TIK
Mengurangi edema cerebri
Ketidakefektifan jalan nafas
NOC Outcome :
-     Status respirasi : pertukaran gas
-     Status respirasi : kepatenan jalan nafas
-     Status respirasi : ventilasi
-     Kontrol aspirasi
Client Outcome :
-     Jalan napas paten
-     Sekret dapat dikeluarkan
-     Suara napas bersih
NIC : Manajemen jalan napas
-     Monitor status respirasi dan oksigenasi
-     Bersihkan jalan napas
-     Auskultasi suara pernapasan
-     Berikan oksigen sesuai program
NIC : Suctioning air way
-     Observasi sekret yang keluar
-     Auskultasi sebelum dan sesudah melakukan suction
-     Gunakan peralatan steril pada saat melakukan suction
-     Informasikan pada klien dan keluarga tentang tindakan 
    suction
Mengetahui kepastian dan kepatenan kebersihan jalan nafas
Membebaskan jalan napas terhadap akumulasi sekret guna terpenuhinya kebutuhan oksigenasi klien
Kerusakan integritas kulit
NOC Outcome :
-     Integritas jaringan
Client Outcome :
-    Integritas kulit utuh
NIC : Perawatan luka dan pertahanan kulit
-     Observasi lokasi terjadinya
kerusakan integritas kulit
-     Kaji faktor resiko kerusakan integritas kulit
-     Lakukan perawatan luka
-     Monitor status nutrisi
-     Atur posisi klien tiap 1 jam sekali
-     Pertahankan kebersihan alat tenun
Mengetahui seberapa luas kerusakan integritas kulit klien
Mencegah terjadinya penekanan pada area dekubibus
Intolerasi aktivitas
NOC Outcome :
-     Pergerakan sendi aktif
-     Tingkat mobilisasi
-     Perawatan ADLs
Client Outcome :
-    Peningkatan kemampuan dan kekuatan otot dalam bergerak
-    Peningkatan aktivitas fisik
NIC : Terapi latihan (pergerakan sendi)
-     Observasi KU klien
-     Tentukan ketebatasan gerak klien
-     Lakukan ROM sesuai kemampuan
-     Kolaborasi dengan terapis dalam melaksanakan latihan
NIC : Terapi latihan (kontrol otot)
-     Evaluasi fungsi sensori
-     Tingkatkan aktivitas motorik sesuai kemampuan
-     Gunakan sentuhan guna meminimalkan spasme otot
Dengan latihan pergerakan akan mencegah terjadinya kontraktur otot
Meminimalkan terjadinya kerusakan mobilitas fisik
Resiko terjadi infeksi
NOC Outcome :
-     Status imunologi
-     Kontrol infeksi
-     Kontrol resiko
Client Outcome :
-     Bebas dari tanda-tanda infeksi
-     Angka leukosit dalam batas normal
-     Vital sign dalam batas normal
NIC : Kontrol infeksi
-     Pertahankan kebersihan lingkungan
-     Batasi pengunjung
-     Anjurkan dan ajarkan pada keluarga untuk cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
-     Gunakan teknik septik dan aseptik dalam perawatan klien
-     Pertahankan intake nutrisi yang adekuat
-     Kaji adanya tanda-tanda infeksi
-     Monitor vital sign
-     Kelola terapi antibiotika
NIC : Pencegahan infeksi
-     Monitor vital sign
-     Monitor tanda-tanda infeksi
-     Monitor hasil laboratorium
-     Manajemen lingkungan
-     Manajemen pengobatan
Meminimalkan invasi mikroorganisme penyebab infeksi kedalam tubuh
Mencegah terjadinya infeksi lanjutan
Memberikan perlindungan pada klien tehadap paparan mikroorganisme penyebab infeksi
Memastikan pengobatan yang diberikan sesuai program


DAFTAR PUSTAKA
Doenges M.E. at al., 1992. Nursing Care Plans. Philadelphia: F.A. Davis Company dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-dan-askep-cidera.html diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC dalam http://samoke2012.wordpress.com/2012/11/10/asuhan-keperawatan-klien-dengan-cidera-kepala-nanda-noc-nic/ diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis: Mosby Year-Book dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-dan-askep-cidera.html diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
Marion Johnson, dkk. 2000. Nursing Outcome Classifications (NOC).  St. Louis: Mosby Year-Book dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-dan-askep-cidera.html diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
Marjory Gordon, dkk. 2001. Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002.  NANDA dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-dan-askep-cidera.html diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
Price, Silvia A dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi Keempat, Buku Kedua. Jakarta: EGC dalam http://ridwankupra.blogspot.com/2012/09/laporan-pendahuluan-cedera-kepala.html diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed. Philadelpia: LWW Publisher dalam http://airlanggaprofessionalnurse.blogspot.com/2011/05/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan.html diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00

1 komentar:

  1. Best Coin Casino Sites 2021 | No Deposit Required
    Top Crypto 바카라 사이트 Casino Bonuses — The Top Coin Casino Sites 인카지노 2021 · 1. Ignition Casino · 2. SuperSlots 1xbet · 3. PlayUK · 4. mBit Casino.

    BalasHapus