LAPORAN
PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PADA
PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA
DI
RUANG BEDAH UMUM RSUD ULIN BANJARMASIN
A. KONSEP
DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Cedera kepala adalah kerusakan neurologis yang
terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung
maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price, 1995).
Cedera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan
atau pembbengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intra kranial (Smeltzer, 2000)
Cedera kepala adalah serangkaian
kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala,yang dapat
melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya. Cedera
kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan
interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera otak
terdapat dibagi dalam dua macam yaitu :
a. Cedera otak
primer:
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat
langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
b. Cedera otak
sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan
biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
2. Klasifikasi
Beratnya
cedera kepala saat ini didefinisikan oleh The Traumatik Coma Data Bank
berdasarkan Skore Scala Coma Glascow (GCS). Penggunaan istilah cedera kepala
ringan, sedang dan berat berhubungan dari pengkajian parameter dalam menetukan
terapi dan perawatan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
a. Cedera
Kepala Ringan
Nilai GCS 13 – 15 yang
dapat terjadi kehilanga kedaran atau amnesia akan tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak ada kontusio serebral dan
hematoma.
b. Cedera
Kepala Sedang
Nilai GCS 9 – 12 yang
dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera
Kepala Berat
Nilai GCS 3 – 8 yang
diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam meliputi
kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.
3. Etiologi
Cedera kepala dapat disebabkan
karena beberapa hal diantaranya adalah :
a. Oleh benda / serpihan tulang yang
menembus jaringan otak misal : kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
b. Trauma saat lahir misal : sewaktu
lahir dibantu dengan forcep atau vacum.
c. Efek dari kekuatan atau energi yang
diteruskan ke otak.
d. Efek percepatan dan perlambatan
(akselerasi-deselerasi) pada otak.
4. Manifestasi
Klinis
Manifestasi
klinis cedera kepala secara umum adalah:
·
Penurunan
kesadaran
·
Keabnormalan
pada sistem pernafasan
·
Penurunan
reflek pupil, reflek kornea
·
Penurunan
fungsi neurologis secara cepat
·
Perubahan
TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan darah, bradikardi,
takikardi,hipotermi, atau hipertermi)
·
Pusing,
vertigo
·
Mual
dan muntah
·
Perubahan
pada perilaku, kognitif, maupun fisikAmnesia
·
Kejang
Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma
Scale)
a.
Cedera kepala Ringan (CKR)
·
GCS 13-15
·
Kehilangan kesadaran/amnesia <30
menit
·
Tidak ada fraktur tengkorak
·
Tidak ada kontusio celebral,
hematoma
b.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
·
GCS 9-12
·
Kehilangan kesadaran dan atau
amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24 jam
·
Dapat mengalami fraktur tengkorak
c.
Cedera Kepala Berat (CKB)
·
GCS 3-8
·
Kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia > 24 jam
·
Juga meliputi kontusio celebral,
laserasi, atau hematoma intracranial
(Hudak dan Gallo, 1996)
5. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala
traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan
yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma
yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar
daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak,
terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis,
memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap
jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan
kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak
komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik
berat.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi.
Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson
difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh
benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah
benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak
kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah
yang terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma
menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari
intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan
gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak
sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan
jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah
otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran
bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau
sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi
kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian
belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain.
Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita
sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit
pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti
dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera
kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian
depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat
timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan
klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh
terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan
hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan
dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya
menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan
keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena
benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks
medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi
unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum
yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus,
regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan
tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada
siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri
terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion
basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang
menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai
pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang
cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan
mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
6. Komplikasi
a. Kerusakan
saraf cranial
·
Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan
gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila
parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
·
Gangguan
penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera
setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertaihematoma di
sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di
dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma,
dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan
kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata
tersebut bersifat irreversible.
·
Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola
mata, umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik.
Tidak ada pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan
latihan ortoptik dini.
·
Paresis
fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut
moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
·
Gangguan
pendengaran
Gangguan
pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan nistagmus karena
ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian
adanya cedera yang berat pada salah satu organtersebut umumnya juga menimbulkan
kerusakan pada organ lain.
b. Disfasia
Secara
ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau memproduksi
bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia
membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena
masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
c. Hemiparesis
Hemiparesis
atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan manifestasi
klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks,
atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah
perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi
transtentorial.
d. Sindrom
pasca trauma kepala
Sindrom
pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan gejala
yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan
gangguan fungsi seksual.
e. Fistula
karotiko-kavernosus
Fistula
karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis interna dengan
sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak.
Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar
penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan
pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunanvisus,
nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola
mata.
f. Epilepsi
Epilepsi
pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama pascatrauma
(early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu
minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya
muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian
7. Penatalaksaan
Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita
cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan
mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal
mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk
penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004)
telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu
ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala
khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk
mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak. Kelancaran jalan
napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika penderita
dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat.
Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang
dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau
akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi
vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan
ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita
dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang
keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi
jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan
napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut
akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam
jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika
penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila
memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai
secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation).
Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan
eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.
Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status
sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala,
tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara
kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis
yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila
denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya
berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan
penekanan pada luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.
Tidak semua pederita cedera kepala
harus dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan di rumah sakit antara lain;
·
Fasilitas
CT scan tidak ada,
·
Hasil
CT scan abnormal,
·
Semua
cedera tembus,
·
Riwayat
hilangnya kesadaran,
·
Kesadaran
menurun,
·
Sakit
kepala sedang-berat,
·
Intoksikasi
alkohol/obat-obatan,
·
Kebocoran
liquor (rhinorea-otorea),
·
cedera
penyerta yang bermakna,
·
GCS
< 15.
Terapi medikamentosa pada penderita
cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan.
Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan
intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat
dan antikonvulsan.
Indikasi pembedahan pada penderita
cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm,
fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1
cm.
Penatalaksanaan Khusus:
a. Cedera
kepala ringan: pasien
dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu
dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
·
Hasil
pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam
batas normal
·
Foto
servikal jelas normal
·
Ada
orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama,
dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul
gejala perburukan
Kriteria
perawatan di rumah sakit:
·
Adanya
darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
·
Konfusi,
agitasi atau kesadaran menurun
·
Adanya
tanda atau gejala neurologia fokal
·
Adanya
penyakit medis komorbid yang nyata
·
Tidak
adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah
b. Cedera
kepala sedang: pasien
yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala korna Glasgow 15 dan
CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk
observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau
amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien
dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
c. Cedera
kepala berat: Setelah
penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini
adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma
intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah
saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya
dilakukan di unit rawat intensif.
·
Penilaian
ulang jalan napas dan ventilasi
·
Pertahankan
posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau jaw trust.
·
Monitor
tekanan darah
·
Pemasangan
alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila
memungkinkan.
·
Penatalaksanaan
cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang
diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam
salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi
edema serebri.
·
Nutrisi:
cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
·
Temperatur
badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif
dengan asetaminofen atau kompres dingin.
·
Antikejang:
fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena. Jika
pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari.
Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera
kepala dan dapat meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi
lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada
herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72
jam).
·
Profilaksis
trombosis vena dalam
·
Profilaksis
ulkus peptic
·
Antibiotik
masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis
pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara
intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang
lebih virulen.
·
CT
Scan lanjutan
8.
Pemeriksaan Diagnostik
·
Spinal
X ray
Membantu
menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau
ruptur atau fraktur).
·
CT
Scan
Memperlihatkan
secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark
atau iskemia serta posisinya secara pasti.
·
Myelogram
Dilakukan
untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika
dicurigai.
·
MRI
(magnetic imaging resonance)
Dengan
menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas
terjadinya perdarahan otak.
·
Thorax
X rayUntuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
·
Pemeriksaan
fungsi pernafasan
Mengukur
volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi
penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
·
Analisa
Gas Darah
Menunjukan
efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
B. KONSEP
DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian
keperawatan meliputi:
·
Breathing
Kompresi
pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi
perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa
Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum
pada jalan napas.
·
Blood
Efek
peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia)
·
Brain
Gangguan
kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat
cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila
perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
Ø Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah
laku dan memori).
Ø Perubahan dalam penglihatan, seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
Ø Perubahan pupil (respon terhadap
cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Ø Terjadi penurunan daya pendengaran,
keseimbangan tubuh.
Ø Sering timbul hiccup/cegukan oleh
karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
Ø Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan
yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga
kesulitan menelan.
·
Bladder
Pada
cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
·
Bowel
Terjadi
penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia)
dan terganggunya proses eliminasi alvi.
·
Bone
Pasien
cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang
lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi
karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks
pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
2. Diagnosa
Keperawatan
a. Kerusakan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan adanya edema serebri
b. Ketidakefektifan
jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekresi dan sumbatan jalan napas
c. Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan imobilitas yang lama
d. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif dan penurunan
kekuatan/tahanan.
e. Resiko terjadi
infeksi berhubungan dengan luka pembedahan dan tindakan invasif
3. Rencana
Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kerusakan perfusi jaringan serebral
|
NOC Outcome :
- Perfusi jaringan cerebral
- Balance cairan
Client Outcome :
- Vital sign membaik
- Fungsi motorik sensorik membaik
|
NIC : Circulatory care
- Monitor vital sign
- Monitor status
neurologi
- Monitor
status hemodinamik
- Posisikan
kepela klien head Up 30o
- Kolaborasi
pemberian manitol sesuai order
|
Mengetahui adanya resiko peningkatan TIK
Peningkatan aliran vena dari kepala menyebabkan
penurunan TIK
Mengurangi edema cerebri
|
Ketidakefektifan jalan nafas
|
NOC Outcome :
- Status
respirasi : pertukaran gas
- Status
respirasi : kepatenan jalan nafas
- Status
respirasi : ventilasi
- Kontrol
aspirasi
Client Outcome :
- Jalan napas
paten
- Sekret dapat
dikeluarkan
- Suara napas
bersih
|
NIC : Manajemen jalan napas
- Monitor
status respirasi dan oksigenasi
- Bersihkan
jalan napas
- Auskultasi
suara pernapasan
- Berikan
oksigen sesuai program
NIC : Suctioning air way
- Observasi
sekret yang keluar
- Auskultasi
sebelum dan sesudah melakukan suction
- Gunakan
peralatan steril pada saat melakukan suction
- Informasikan
pada klien dan keluarga tentang tindakan
suction
|
Mengetahui kepastian dan kepatenan kebersihan jalan
nafas
Membebaskan jalan napas terhadap
akumulasi sekret guna terpenuhinya kebutuhan oksigenasi klien
|
Kerusakan integritas kulit
|
NOC Outcome :
- Integritas
jaringan
Client Outcome :
- Integritas
kulit utuh
|
NIC : Perawatan luka dan pertahanan
kulit
- Observasi
lokasi terjadinya
kerusakan
integritas kulit
- Kaji faktor
resiko kerusakan integritas kulit
- Lakukan
perawatan luka
- Monitor
status nutrisi
- Atur posisi
klien tiap 1 jam
sekali
- Pertahankan
kebersihan alat
tenun
|
Mengetahui seberapa luas kerusakan integritas kulit
klien
Mencegah terjadinya penekanan pada
area dekubibus
|
Intolerasi aktivitas
|
NOC Outcome :
- Pergerakan
sendi aktif
- Tingkat
mobilisasi
- Perawatan
ADLs
Client Outcome :
- Peningkatan
kemampuan dan kekuatan otot dalam bergerak
- Peningkatan
aktivitas fisik
|
NIC : Terapi latihan (pergerakan sendi)
- Observasi KU
klien
- Tentukan
ketebatasan gerak klien
- Lakukan ROM
sesuai kemampuan
- Kolaborasi
dengan terapis dalam melaksanakan latihan
NIC : Terapi latihan (kontrol otot)
- Evaluasi
fungsi sensori
- Tingkatkan
aktivitas motorik sesuai kemampuan
- Gunakan
sentuhan guna meminimalkan spasme otot
|
Dengan latihan pergerakan akan mencegah terjadinya
kontraktur otot
Meminimalkan terjadinya kerusakan
mobilitas fisik
|
Resiko terjadi infeksi
|
NOC Outcome :
- Status
imunologi
- Kontrol
infeksi
- Kontrol
resiko
Client Outcome :
- Bebas dari
tanda-tanda infeksi
- Angka
leukosit dalam batas normal
- Vital sign
dalam batas
normal
|
NIC : Kontrol infeksi
- Pertahankan
kebersihan lingkungan
- Batasi
pengunjung
- Anjurkan dan
ajarkan pada keluarga untuk cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
klien
- Gunakan
teknik septik dan aseptik dalam perawatan klien
- Pertahankan
intake nutrisi yang adekuat
- Kaji adanya
tanda-tanda infeksi
- Monitor vital
sign
- Kelola terapi
antibiotika
NIC : Pencegahan infeksi
- Monitor vital sign
- Monitor
tanda-tanda infeksi
- Monitor hasil
laboratorium
- Manajemen
lingkungan
- Manajemen
pengobatan
|
Meminimalkan invasi mikroorganisme penyebab infeksi
kedalam tubuh
Mencegah terjadinya infeksi lanjutan
Memberikan perlindungan pada klien tehadap paparan
mikroorganisme penyebab infeksi
Memastikan pengobatan yang diberikan sesuai program
|
DAFTAR
PUSTAKA
http://arsipguntur.blogspot.com/2013/05/lp-cedera-kepala-berat.html
diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
http://ryosthalopheforever.blogspot.com/2013/10/trauma-capitis-gadar.html diakses pada 7 September 2014 pukul
11.00
Doenges
M.E. at al., 1992. Nursing Care Plans.
Philadelphia: F.A. Davis Company dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-dan-askep-cidera.html
diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC dalam http://samoke2012.wordpress.com/2012/11/10/asuhan-keperawatan-klien-dengan-cidera-kepala-nanda-noc-nic/ diakses pada 7 September 2014 pukul
11.00
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M.
Bulechek. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC). St.
Louis: Mosby Year-Book dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-dan-askep-cidera.html
diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
Marion Johnson, dkk. 2000. Nursing
Outcome Classifications (NOC). St. Louis: Mosby Year-Book
dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-dan-askep-cidera.html
diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
Marjory Gordon, dkk. 2001. Nursing
Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002. NANDA
dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-dan-askep-cidera.html
diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
Price,
Silvia A dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi Keempat, Buku Kedua. Jakarta: EGC
dalam http://ridwankupra.blogspot.com/2012/09/laporan-pendahuluan-cedera-kepala.html diakses pada 7 September 2014 pukul
11.00
Smeltzer,
BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s
Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed. Philadelpia: LWW Publisher dalam
http://airlanggaprofessionalnurse.blogspot.com/2011/05/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan.html
diakses pada 7 September 2014 pukul 11.00
Best Coin Casino Sites 2021 | No Deposit Required
BalasHapusTop Crypto 바카라 사이트 Casino Bonuses — The Top Coin Casino Sites 인카지노 2021 · 1. Ignition Casino · 2. SuperSlots 1xbet · 3. PlayUK · 4. mBit Casino.