AKUT LIMFOBLASTIK LEUKEMIA (ALL)/
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT
A. PENGERTIAN
§ Leukemia adalah keganasan organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang didominasi oleh limfoblas yang abnormal. Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan yang sering ditemukan pada masa anak-anak (25-30% dari seluruh keganasan pada anak), anak laki lebih sering ditemukan dari pada anak perempuan, dan terbanyak pada anak usia 3-4 tahun. Faktor risiko terjadi leukimia adalah faktor kelainan kromosom, bahan kimia, radiasi faktor hormonal,infeksi virus (Ribera, 2009).
§ Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan pada sel-sel prekursor limfoid, yakni sel darah yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi limfosit T dan limfosit B. LLA ini banyak terjadi pada anak-anak yakni 75%, sedangkan sisanya terjadi pada orang dewasa. Lebih dari 80% dari kasus LLA adalah terjadinya keganasan pada sel T, dan sisanya adalah keganasan pada sel B. Insidennya 1 : 60.000 orang/tahun dan didominasi oleh anak-anak usia < 15 tahun, dengan insiden tertinggi pada usia 3-5 tahun (Landier dkk, 2004)
B. KLASIFIKASI
1. Leukemia secara umum
Secara sederhana leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan maturasi sel dan tipe sel asal yaitu :
1) Leukemia Akut
Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum tulang yang berakibat
terdesaknya komponen darah normal oleh komponen darah abnormal
(blastosit) yang disertai dengan penyebaran ke organ-organ lain.
Leukemia akut memiliki perjalanan klinis yang cepat, tanpa pengobatan
penderita akan meninggal rata-rata dalam 4-6 bulan.
1) Leukemia Limfositik Akut (LLA)
LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan
akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan
organomegali (pembesaran alat-alat dalam) dan kegagalan organ.
LLA lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur dewasa
(18%). Insiden LLA akan mencapai puncaknya pada umur 3-7 tahun. Tanpa
pengobatan sebagian anak-anak akan hidup 2-3 bulan setelah terdiagnosis
terutama diakibatkan oleh kegagalan dari sumsum tulang. (gambar 1. hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa perbesaran 1000x).
Gambar 1. Leukemia Limfositik Akut
2) Leukemia Mielositik Akut (LMA)
LMA merupakan leukemia yang mengenai
sel stem hematopoetik yang akan berdiferensiasi ke semua sel mieloid.
LMA merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi. LMA
atau Leukemia Nonlimfositik Akut (LNLA) lebih sering ditemukan pada
orang dewasa (85%) dibandingkan anak-anak (15%). Permulaannya mendadak
dan progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan dengan durasi gejala yang
singkat. Jika tidak diobati, LNLA fatal dalam 3 sampai 6 bulan. (gambar 2. hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa perbesaran 1000x).
Gambar 2. Leukemia Mielositik Akut
1. Leukemia Kronik
Leukemia kronik merupakan suatu
penyakit yang ditandai proliferasi neoplastik dari salah satu sel yang
berlangsung atau terjadi karena keganasan hematologi.
1) Leukemia Limfositik Kronis (LLK)
LLK adalah suatu keganasan klonal
limfosit B (jarang pada limfosit T). Perjalanan penyakit ini biasanya
perlahan, dengan akumulasi progresif yang berjalan lambat dari limfosit
kecil yang berumur panjang.
LLK cenderung dikenal sebagai kelainan
ringan yang menyerang individu yang berusia 50 sampai 70 tahun dengan
perbandingan 2:1 untuk laki-laki. (gambar 3. a dan b. hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa perbesaran 1000x).
Gambar 3. Leukemia Limfositik Kronik
2) Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik (LGK/LMK)
LGK/LMK adalah gangguan
mieloproliferatif yang ditandai dengan produksi berlebihan sel mieloid
(seri granulosit) yang relatif matang. LGK/LMK mencakup 20% leukemia dan
paling sering dijumpai pada orang dewasa usia pertengahan (40-50
tahun). Abnormalitas genetik yang dinamakan kromosom philadelphia
ditemukan pada 90-95% penderita LGK/LMK.
Sebagian besar penderita LGK/LMK akan
meninggal setelah memasuki fase akhir yang disebut fase krisis blastik
yaitu produksi berlebihan sel muda leukosit, biasanya berupa
mieloblas/promielosit, disertai produksi neutrofil, trombosit dan sel
darah merah yang amat kurang. (gambar 4. hapusan sumsum tulang dengan
pewarnaan giemsa a. perbesaran 200x, b. perbesaran 1000x).
a b
Gambar 4. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik
2. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
FAB (French-American-British) dibuat klasifikasi LLA berdasarkan morfologik untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik, antara lain sebagai berikut:
a. L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa dengan kromatin homogen, nucleus umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit
b. L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih besar dengan satu atau lebih anak inti
c. L-3
terdiri dari sel limfoblas besar, homogeny dengan kromatin berbecak,
banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan
bervakuolisasi
C. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia yaitu :
1. Genetik
a. keturunan
1. Adanya Penyimpangan Kromosom
Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome,
sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis. Kelainan-kelainan
kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen,
misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy.
2. Saudara kandung
Dilaporkan
adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana
kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran. Hal ini
berlaku juga pada keluarga dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi
b. Faktor Lingkungan
Beberapa
faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom
dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan
dengan insiden yang meningkat pada leukemia akut, khususnya ALL ,
2. Virus
Dalam
banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan
leukemia pada hewan termasuk primata. Penelitian pada manusia menemukan
adanya RNA dependent DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi
tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal dari virus
tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada hewan.
(Wiernik, 1985). Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan
leukemia pada manusia adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell Leukemia.
3. Bahan Kimia dan Obat-obatan
a. Bahan Kimia
Paparan
kromis dari bahan kimia (misal : benzen) dihubungkan dengan peningkatan
insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar
benzen. Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko
tinggi dari AML, antara lain : produk – produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik
b. Obat-obatan
Obat-obatan
anti neoplastik (misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II) dapat
mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML. Kloramfenikol, fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang lambat laun menjadi AML
4. Radiasi
Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia (ANLL) ditemukan pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang
mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan
insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom
atom. Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat
terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis .
5. Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia.
Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker
payudara. Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk
golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan DNA .
D. MORFOLOGI DAN FUNGSI NORMAL SEL DARAH PUTIH
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh23, yaitu
berfungsi melawan infeksi dan penyakit lainnya. Batas normal jumlah sel
darah putih berkisar dari 4.000 sampai 10.000/mm. Berdasarkan
jenis granula dalam sitoplasma dan bentuk intinya, sel darah putih
digolongkan menjadi 2 yaitu : granulosit (leukosit polimorfonuklear) dan
agranulosit (leukosit mononuklear).
1. Granulosit
Granulosit merupakan leukosit yang
memiliki granula sitoplasma. Berdasarkan warna granula sitoplasma saat
dilakukan pewarnaan terdapat 3 jenis granulosit yaitu neutrofil,
eosinofil, dan basofil.
a. Neutrofil
Neutrofil adalah garis pertahanan
pertama tubuh terhadap invasi oleh bakteri, sangat fagositik dan sangat
aktif. Sel-sel ini sampai di jaringan terinfeksi untuk menyerang dan
menghancurkan bakteri, virus atau agen penyebab infeksi lainnya.
Neutrofil mempunyai inti sel yang
berangkai dan kadang-kadang seperti terpisah- pisah, protoplasmanya
banyak bintik-bintik halus (granula). Granula neutrofil mempunyai
afinitas sedikit terhadap zat warna basa dan memberi warna biru atau
merah muda pucat yang dikelilingi oleh sitoplasma yang berwarna merah
muda.
Neutrofil merupakan leukosit granular
yang paling banyak, mencapai 60% dari jumlah sel darah putih. Neutrofil
merupakan sel berumur pendek dengan waktu paruh dalam darah 6-7 jam dan
jangka hidup antara 1-4 hari dalam jaringan ikat, setelah itu neutrofil
mati.
b. Eosinofil
Eosinofil merupakan fagositik yang
lemah. Jumlahnya akan meningkat saat terjadi alergi atau penyakit
parasit. Eosinofil memiliki granula sitoplasma yang kasar dan besar. Sel
granulanya berwarna merah sampai merah jingga.
Eosinofil memasuki darah dari sumsum
tulang dan beredar hanya 6-10 jam sebelum bermigrasi ke dalam jaringan
ikat, tempat eosinofil menghabiskan sisa 8-12 hari dari jangka hidupnya.
Dalam darah normal, eosinofil jauh lebih sedikit dari neutrofil, hanya
2-4% dari jumlah sel darah putih.
c. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang
paling sedikit jumlahnya yaitu kurang dari 1% dari jumlah sel darah
putih. Basofil memiliki sejumlah granula sitoplasma yang bentuknya tidak
beraturan dan berwarna keunguan sampai hitam.
Basofil memiliki fungsi menyerupai sel
mast, mengandung histamin untuk meningkatkan aliran darah ke jaringan
yang cedera dan heparin untuk membantu mencegah pembekuan darah
intravaskular.
2. Agranulosit
Agranulosit merupakan leukosit tanpa granula sitoplasma. Agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit.
a. Limfosit
Limfosit adalah golongan leukosit kedua
terbanyak setelah neutrofil, berkisar 20-35% dari sel darah putih,
memiliki fungsi dalam reaksi imunitas. Limfosit memiliki inti yang bulat
atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran sitoplasma yang sempit
berwarna biru. Terdapat dua jenis limfosit yaitu limfosit T dan limfosit
B. Limfosit T bergantung timus, berumur panjang, dibentuk dalam timus.
Limfosit B tidak bergantung timus, tersebar dalam folikel-folikel
kelenjar getah bening. Limfosit T bertanggung jawab atas respons
kekebalan selular melalui pembentukan sel yang reaktif antigen sedangkan
limfosit B, jika dirangsang dengan semestinya, berdiferesiansi menjadi
sel-sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin, sel-sel ini bertanggung
jawab atas respons kekebalan hormonal.
b. Monosit
Monosit merupakan leukosit terbesar.
Monosit mencapai 3-8% dari sel darah putih, memiliki waktu paruh 12-100
jam di dalam darah. Intinya terlipat atau berlekuk dan terlihat
berlobus, protoplasmanya melebar, warna biru keabuan yang mempunyai
bintik-bintik sedikit kemerahan.
Monosit memiliki fungsi fagositik dan sangat aktif, membuang sel-sel cedera dan mati, fragmen-fragmen sel, dan mikroorganisme.
E. PATOFISIOLOGI
Komponen
sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC) dan
leukosit atau sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet.
Seluruh sel darah normal diperoleh dari sel batang tunggal yang terdapat
pada seluruh sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke dalam lymphpoid
dan sel batang darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal
bakal sel yang terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini
dikenal sebagai hematopoiesis dan terjadi di dalam sumsum tulang
tengkorak, tulang belakang., panggul, tulang dada, dan pada proximal
epifisis pada tulang-tulang yang panjang.
ALL
meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan lemah dan
pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum tulang. Biasanya
dijumpai tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda dalam sumsum tulang
mulai dari yang sangat mentah hingga hampir menjadi sel normal. Derajat
kementahannya merupakan petunjuk untuk menentukan/meramalkan
kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan sel muda limfoblas
dan biasanya ada leukositosis, kadang-kadang leukopenia (25%). Jumlah
leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula kadar hemoglobin dan
trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan sel-sel
blas yang dominan. Pematangan limfosit B dimulai dari sel stem
pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre pre-B, early B, sel B
intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T
juga berasal dari sel stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem
limfoid, sel timosit imatur, cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi
sel limfosit T helper dan limfosit T supresor.
Peningkatan
prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat ekstramedular sehingga
anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan hepatosplenomegali.
Sakit tulang juga sering dijumpai. Juga timbul serangan pada susunan
saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah-muntah, “seizures” dan gangguan
penglihatan.
Sel
kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang
berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk
sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit
imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga
mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis
normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah
merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ
menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala,
muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit
menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya
perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel
kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat
menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami
infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel
kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi
dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).
PATWAY
F. MANIFESTASI KLINIS
leukemia
limfositik akut menyerupai leukemia granulositik akut dengan tanda dan
gejala dikaitkan dengan penekanan unsur sumsum tulang normal (kegagalan
sumsum tulang) atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia.
Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsumtulang menyebabkan
berkurangnya sel-sel normal di darah perifer dengan manifestasi
utama berupa infeksi, perdarahan, dan anemia. Gejala lain yang dapat
ditemukan yaitu:
- Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
- Anoreksia, kehilangan berat badan, malaise
- Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel leukemia), biasanya terjadi pada anak
- Demam, banyak berkeringat pada malam hari(hipermetabolisme)
- Infeksi mulut, saluran napas, selulitis, atau sepsis. Penyebab tersering adalah gramnegatif usus
- stafilokokus, streptokokus, serta jamur
- Perdarahan kulit, gusi, otak, saluran cerna, hematuria
- Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati
- Massa di mediastinum (T-ALL)
- Leukemia SSP (Leukemia cerebral); nyeri kepala, tekanan intrakranial naik, muntah,kelumpuhan saraf otak (VI dan VII), kelainan neurologik fokal, dan perubahan statusmental.
G. PEMERIKSAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang mengenai leukemia adalah :
- Hitung darah lengkap menunjukkan normositik, anemia normositik.
- Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 ml
- Retikulosit : jumlah biasanya rendah
- Jumlah trombosit : mungkin sangat rendah (<50.000/mm)
- SDP : mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP yang imatur (mungkin menyimpang ke kiri). Mungkin ada sel blast leukemia.
- PT/PTT : memanjang
- LDH : mungkin meningkat
- Asam urat serum/urine : mungkin meningkat
- Muramidase serum (lisozim) : penigkatabn pada leukimia monositik akut dan mielomonositik.
- Copper serum : meningkat
- Zinc serum : meningkat/ menurun
- Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
- Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan
H. KOMPLIKASI
1. Perdarahan
Akibat defisiensi trombosit (trombositopenia). Angka trombosit yang rendah ditandai dengan:
a. Memar (ekimosis)
b. Petekia (bintik perdarahan kemerahan atau keabuan sebesar ujung jarum dipermukaan kulit)
Perdarahan berat jika angka trombosit < 20.000 mm3 darah. Demam dan infeksi dapat memperberat perdarahan
2. Infeksi
Akibat kekurangan granulosit matur dan normal. Meningkat sesuai derajat netropenia dan disfungsi imun.
3. Pembentukan batu ginjal dan kolik ginjal.
Akibat penghancuran sel besar-besaran saat kemoterapi meningkatkan kadar asam urat sehingga perlu asupan cairan yang tinggi.
4. Anemia
5. Masalah gastrointestinal.
a. mual
b. muntah
c. anoreksia
d. diare
e. lesi mukosa mulut
Terjadi akibat infiltrasi lekosit abnormal ke organ abdominal, selain akibat kemoterapi.
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Leukemia Limfoblastik Akut :
Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel noramal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang. Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.
Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin memerlukan: transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi. Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan dosisnya diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu kombinasi terdiri dari prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari vinkristin dengan antrasiklin atau asparaginase intravena. Untuk mengatasi sel leukemik di otak, biasanya diberikan suntikan metotreksat langsung ke dalam cairan spinal dan terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu atau beberapa bulan setelah pengobatan awal yang intensif untuk menghancurkan sel leukemik, diberikan pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi) untuk menghancurkan sisa-sisa sel leukemik. Pengobatan bisa berlangsung selama 2-3 tahun. Sel-sel leukemik bisa kembali muncul, seringkali di sumsum tulang, otak atau buah zakar. Pemunculan kembali sel leukemik di sumsum tulang merupakan masalah yang sangat serius. Penderita harus kembali menjalani kemoterapi. Pencangkokan sumsum tulang menjanjikan kesempatan untuk sembuh pada penderita ini. Jika sel leukemik kembali muncul di otak, maka obat kemoterapi disuntikkan ke dalam cairan spinal sebanyak 1-2 kali/minggu. Pemunculan kembali sel leukemik di buah zakar, biasanya diatasi dengan kemoterapi dan terapi penyinaran.
2. Pengobatan Leukeumia Limfositik Kronik
Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga banyak penderita yang tidak memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun sampai jumlah limfosit sangat banyak, kelenjar getah bening membesar atau terjadi penurunan jumlah eritrosit atau trombosit. Anemia diatasi dengan transfusi darah dan suntikan eritropoietin (obat yang merangsang pembentukan sel-sel darah merah). Jika jumlah trombosit sangat menurun, diberikan transfusi trombosit. Infeksi diatasi dengan antibiotik.
Terapi penyinaran digunakan untuk memperkecil ukuran kelenjar getah bening, hati atau limpa. Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah limfositnya sangat banyak. Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa menyebabkan perbaikan pada penderita leukemia yang sudah menyebar. Tetapi respon ini biasanya berlangsung singkat dan setelah pemakaian jangka panjang, kortikosteroid menyebabkan beberapa efek samping. Leukemia sel B diobati dengan alkylating agent, yang membunuh sel kanker dengan mempengaruhi DNAnya. Leukemia sel berambut diobati dengan interferon alfa dan pentostatin.
Penatalaksanaan lain:
1. Pelaksanaan kemoterapi
Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan kanker ini menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia. Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa mendapatkan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau lebih.
Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan berbagai cara:
§ Melalui mulut
§ Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena)
§ Melalui
kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di dalam
pembuluh darah balik besar, seringkali di dada bagian atas - perawat
akan menyuntikkan obat ke dalam kateter, untuk menghindari suntikan yang
berulang kali. Cara ini akan mengurangi rasa tidak nyaman dan/atau
cedera pada pembuluh darah balik/kulit.
§ Dengan
suntikan langsung ke cairan cerebrospinal – jika ahli patologi
menemukan sel-sel leukemia dalam cairan yang mengisi ruang di otak dan
sumsum tulang belakang, dokter bisa memerintahkan kemoterapi intratekal.
Dokter akan menyuntikkan obat langsung ke dalam cairan cerebrospinal.
Metode ini digunakan karena obat yang diberikan melalui suntikan IV atau
diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di otak dan sumsum tulang
belakang.
Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua fase yang digunakan untuk semua orang.
a. Tahap 1 (terapi induksi)
Tujuan
dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh sebagian besar
sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi
kemoterapi biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit yang panjang
karena obat menghancurkan banyak sel darah normal dalam proses membunuh
sel leukemia. Pada tahap ini dengan memberikan kemoterapi kombinasi
yaitu daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.
b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)
Setelah
mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi yang
bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah
relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat. Terapi ini
dilakukan setelah 6 bulan kemudian.
c. Tahap 3 ( profilaksis SSP)
Profilaksis
SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP. Perawatan yang
digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis yang lebih rendah.
Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang
dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki
otak dan sistem saraf pusat
d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)
Pada
tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi. Tahap ini
biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun. Angka harapan hidup yang membaik
dengan pengobatan sangat dramatis. Tidak hanya 95% anak dapat mencapai
remisi penuh, tetapi 60% menjadi sembuh. Sekitar 80% orang dewasa
mencapai remisi lengkap dan sepertiganya mengalami harapan hidup jangka
panjang, yang dicapai dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada
sumsum tulang dan SSP.
2. Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi
untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini
diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik. Bagi pasien
dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi yang digunakan
adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel
leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh
sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan
leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan adalah bahan
alami bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel
leukemia.
3. Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar
berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar
pasien, sebuah mesin yang besar akan mengarahkan radiasi pada limpa,
otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-sel leukemia
ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh
tubuh. (radiasi seluruh tubuh biasanya diberikan sebelum transplantasi
sumsum tulang.)
4. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell).
Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat
yang tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan menghancurkan
sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum tulang.
Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat
melalui tabung fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik besar di
daerah dada atau leher. Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel
induk (stem cell) hasil transplantasi ini. Setelah transplantasi sel
induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap di rumah sakit selama
beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien dari infeksi
sampai sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan
sel-sel darah putih dalam jumlah yang memadai.
5. Transfusi
darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada
trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan
transfusi trombosit dan bila terdapat tanda‑tanda DIC dapat diberikan
heparin.
6. Kortikosteroid
(prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai
remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
7. Sitostatika.
Selain sitostatika yang lama (6‑merkaptopurin atau 6‑mp, metotreksat
atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti
vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid,
L‑asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin dan sebagainya.
Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama‑sama dengan
prednison. Pada pemberian obat‑obatan ini sering terdapat akibat samping
berupa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau
kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti‑hati bila jumiah leukosit kurang
dari 2.000/mm3.
8. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).
9. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 ‑ 106),
imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan
pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan
agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh.
Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang
telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang
spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan
dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh
sempurna.
10. Cara pengobatan.
Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung
pada pengalamannya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan
kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai
keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai
berikut:
a. Induksi
Dimaksudkan
untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berbagai obat tersebut
di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sampai sel blast dalam
sumsum tulang kurang dari 5%.
b. Konsolidasi
Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
c. Rumat (maintenance)
Untuk
mempertahankan masa remisi, sedapat‑dapatnya suatu masa remisi yang
lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis
biasa.
d. Reinduksi
Dimaksudkan
untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3‑6 bulan
dengan pemberian obat‑obat seperti pada induksi selama 10‑14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.
Untuk
hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah
leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.4002.500 rad. untuk
mencegah leukemia meningeal dan leukemia serebral. Radiasi ini tidak
diulang pada reinduksi.
f. Pengobatan imunologik
Diharapkan
semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan
demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna. (Sutarni Nani,
2003)
J. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
a. Identitas
Acute
lymphoblastic leukemia sering terdapat pada anak-anak usia di bawah 15
tahun (85%) , puncaknya berada pada usia 2 – 4 tahun. Rasio lebih
sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama : Pada
anak keluhan yang sering muncul tiba-tiba adalah demam, lesudan malas
makan atau nafsu makan berkurang, pucat (anemia) dan kecenderungan
terjadi perdarahan.
2) Riwayat kesehatan masa lalu : Pada
penderita ALL sering ditemukan riwayat keluarga yang erpapar oleh
chemical toxins (benzene dan arsen), infeksi virus (epstein barr,
HTLV-1), kelainan kromosom dan penggunaan obat-obatann seperti
phenylbutazone dan khloramphenicol, terapi radiasi maupun kemoterapi.
3) Pola Persepsi - mempertahankan kesehatan : Tidak
spesifik dan berhubungan dengan kebiasaan buruk dalam mempertahankan
kondisi kesehatan dan kebersihan diri. Kadang ditemukan laporan tentang
riwayat terpapar bahan-bahan kimia dari orangtua.
4) Pola Nurisi : Anak
sering mengalami penurunan nafsu makan, anorexia, muntah, perubahan
sensasi rasa, penurunan berat badan dan gangguan menelan, serta
pharingitis. Dari pemerksaan fisik ditemukan adanya distensi abdomen,
penurunan bowel sounds, pembesaran limfa, pembesaran hepar akibat invasi
sel-sel darah putih yang berproliferasi secara abnormal, ikterus,
stomatitis, ulserasi oal, dan adanya pmbesaran gusi (bisa menjadi
indikasi terhadap acute monolytic leukemia)
5) Pola Eliminasi : Anak
kadang mengalami diare, penegangan pada perianal, nyeri abdomen, dan
ditemukan darah segar dan faeces berwarna ter, darah dalam urin, serta
penurunan urin output. Pada inspeksi didapatkan adanya abses perianal,
serta adanya hematuria.
6) Pola Tidur dan Istrahat : Anak
memperlihatkan penurunan aktifitas dan lebih banyak waktu yang
dihabiskan untuk tidur /istrahat karena mudah mengalami kelelahan.
7) Pola Kognitif dan Persepsi : Anak
penderita ALL sering ditemukan mengalami penurunan kesadaran
(somnolence) , iritabilits otot dan “seizure activity”, adanya keluhan
sakit kepala, disorientasi, karena sel darah putih yang abnormal
berinfiltrasi ke susunan saraf pusat.
8) Pola
Mekanisme Koping dan Stress : Anak berada dalam kondisi yang lemah
dengan pertahan tubuh yang sangat jelek. Dalam pengkajian dapt ditemukan
adanya depresi, withdrawal, cemas, takut, marah, dan iritabilitas. Juga
ditemukan peerubahan suasana hati, dan bingung.
9) Pola Seksual : Pada pasien anak-anak pola seksual belum dapat dikaji
10) Pola Hubungan Peran : Pasien anak-anak biasanya merasa kehilangan kesempatan bermain dan berkumpul bersama teman-teman serta belajar.
11) Pola Keyakinan dan Nilai : Anak pra sekolah mengalami kelemahan umum dan ketidakberdayaan melakukan ibadah.
12) Pengkajian tumbuh kembang anak.
c. Pemeriksaan Diagnostik
§ Count Blood Cells : indikasi normocytic, normochromic anemia
§ Hemoglobin : bisa kurang dari 10 gr%
§ Retikulosit : menurun/rendah
§ Platelet count : sangat rendah (<50.000/mm)
§ White Blood cells : > 50.000/cm dengan peningkatan immatur WBC (“kiri ke kanan”)
§ Serum/urin uric acid : meningkat
§ Serum zinc : menurun
§ Bone marrow biopsy : indikasi 60 – 90 % adalah blast sel dengan erythroid
§ prekursor, sel matur dan penurunan megakaryosit
§ Rongent dada dan biopsi kelenjar limfa : menunjukkan tingkat kesulitan tertentu
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
- Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
- Resiko terhadap cedera: perdarahan berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit
- Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
- Perubahan membran mukosa mulut: stomatitis berhubungan dengan efek samping , agen kemoterapi
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
- Nyeri berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
- Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi, radioterapi, imobilitas.
L. RENCANA KEPERAWATAN
NO
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
|
TUJUAN (NOC)
|
INTERVENSI (NIC)
|
1
|
Resiko infeksi
Definisi : Peningkatan resiko masuknya organisme patogen
Faktor-faktor resiko :
- Prosedur Infasif
- Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan patogen
- Trauma
- Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan
- Ruptur membran amnion
- Agen farmasi (imunosupresan)
- Malnutrisi
- Peningkatan paparan lingkungan patogen
- Imonusupresi
- Ketidakadekuatan imum buatan
- Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi)
- Tidak
adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan,
penurunan kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH,
perubahan peristaltik)
- Penyakit kronikhiperplasia dinding bronkus, alergi jalan nafas, asma.
- Obstruksi
jalan nafas : spasme jalan nafas, sekresi tertahan, banyaknya mukus,
adanya jalan nafas buatan, sekresi bronkus, adanya eksudat di alveolus,
adanya benda asing di jalan nafas.
|
NOC :
v Immune Status
v Knowledge : Infection control
v Risk control
Kriteria Hasil :
v Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
v Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya,
v Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
v Jumlah leukosit dalam batas normal
v Menunjukkan perilaku hidup sehat
|
NIC :
Infection Control (Kontrol infeksi)
· Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
· Pertahankan teknik isolasi
· Batasi pengunjung bila perlu
· Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
· Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
· Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
· Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
· Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
· Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
· Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
· Tingktkan intake nutrisi
· Berikan terapi antibiotik bila perlu
Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
· Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
· Monitor hitung granulosit, WBC
· Monitor kerentanan terhadap infeksi
· Batasi pengunjung
· Saring pengunjung terhadap penyakit menular
· Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
· Pertahankan teknik isolasi k/p
· Berikan perawatan kuliat pada area epidema
· Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
· Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
· Dorong masukkan nutrisi yang cukup
· Dorong masukan cairan
· Dorong istirahat
· Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
· Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
· Ajarkan cara menghindari infeksi
· Laporkan kecurigaan infeksi
· Laporkan kultur positif
|
2
|
Intoleransi aktivitas b/d fatigue
Definisi
: Ketidakcukupan energu secara fisiologis maupun psikologis untuk
meneruskan atau menyelesaikan aktifitas yang diminta atau aktifitas
sehari hari.
Batasan karakteristik :
a. melaporkan secara verbal adanya kelelahan atau kelemahan.
b. Respon abnormal dari tekanan darah atau nadi terhadap aktifitas
c. Perubahan EKG yang menunjukkan aritmia atau iskemia
d. Adanya dyspneu atau ketidaknyamanan saat beraktivitas.
Faktor factor yang berhubungan :
· Tirah Baring atau imobilisasi
· Kelemahan menyeluruh
· Ketidakseimbangan antara suplei oksigen dengan kebutuhan
· Gaya hidup yang dipertahankan.
|
NOC :
v Energy conservation
v Self Care : ADLs
Kriteria Hasil :
v Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR.
v Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
|
NIC :
Energy Management
v Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
v Dorong anak untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan
v Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan
v Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat
v Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
v Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
v Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
v
Activity Therapy
v Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalammerencanakan progran terapi yang tepat.
v Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
v Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan social
v Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan
v Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek
v Bantu untu mengidentifikasi aktivitas yang disukai
v Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
v Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
v Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
v Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
v Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual
|
3
|
Resiko terhadap cedera/perdarahan yang berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit
|
Tujuan : klien tidak menunjukkan bukti-bukti perdarahan
|
v Gunakan semua tindakan untuk mencegah perdarahan khususnya pada daerah ekimosis
v Cegah ulserasi oral dan rectal
v Gunakan jarum yang kecil pada saat melakukan injeksi
v Menggunakan sikat gigi yang lunak dan lembut
v Laporkan setiap tanda-tanda perdarahan (tekanan darah menurun, denyut nadi cepat, dan pucat)
v Hindari obat-obat yang mengandung aspirin
v Ajarkan orang tua dan anak yang lebih besar ntuk mengontrol perdarahan hidung
|
4
|
Defisit Volume Cairan
Definisi
: Penurunan cairan intravaskuler, interstisial, dan/atau intrasellular.
Ini mengarah ke dehidrasi, kehilangan cairan dengan pengeluaran sodium
Batasan Karakteristik :
- Kelemahan
- Haus
- Penurunan turgor kulit/lidah
- Membran mukosa/kulit kering
- Peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume/tekanan nadi
- Pengisian vena menurun
- Perubahan status mental
- Konsentrasi urine meningkat
- Temperatur tubuh meningkat
- Hematokrit meninggi
- Kehilangan berat badan seketika (kecuali pada third spacing)
Faktor-faktor yang berhubungan:
- Kehilangan volume cairan secara aktif
- Kegagalan mekanisme pengaturan
|
NOC:
v Fluid balance
v Hydration
v Nutritional Status : Food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
v Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal
v Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
v Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
|
NIC :
Fluid management
· Timbang popok/pembalut jika diperlukan
· Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
· Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan
· Monitor vital sign
· Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
· Kolaborasikan pemberian cairan IV
· Monitor status nutrisi
· Berikan cairan IV pada suhu ruangan
· Dorong masukan oral
· Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
· Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
· Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )
· Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
· Atur kemungkinan tranfusi
· Persiapan untuk tranfusi
|
5
|
Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan efek samping agen kemoterapi
|
Tujuan : pasien tidak mengalami mukositis oral
|
v Inspeksi mulut setiap hari untuk adanya ulkus oral
v Gunakan sikat gigi berbulu lembut, aplikator berujung kapas, atau jari yang dibalut
kasa
v Berikan pencucian mulut yang sering dengan cairan salin normal atau tanpa larutan
bikarbonat
v Gunakan pelembab bibir
v Hindari penggunaan larutan lidokain pada anak kecil
v Berikan diet cair, lembut dan lunak
v Inspeksi mulut setiap hari
v Dorong masukan cairan dengan menggunakan sedotan
v Hindari penggunaa swab gliserin, hidrogen peroksida dan susu magnesi
v Berikan obat-obat anti infeksi sesuai ketentuan
v Berikan analgetik
|
6
|
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d pembatasan cairan, diit, dan hilangnya protein
Definisi : Intake nutrisi tidak cukup untuk keperluan metabolisme tubuh.
Batasan karakteristik :
- Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal
- Dilaporkan adanya intake makanan yang kurang dari RDA (Recomended Daily Allowance)
- Membran mukosa dan konjungtiva pucat
- Kelemahan otot yang digunakan untuk menelan/mengunyah
- Luka, inflamasi pada rongga mulut
- Mudah merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah makanan
- Dilaporkan atau fakta adanya kekurangan makanan
- Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa
- Perasaan ketidakmampuan untuk mengunyah makanan
- Miskonsepsi
- Kehilangan BB dengan makanan cukup
- Keengganan untuk makan
- Kram pada abdomen
- Tonus otot jelek
- Nyeri abdominal dengan atau tanpa patologi
- Kurang berminat terhadap makanan
- Pembuluh darah kapiler mulai rapuh
- Diare dan atau steatorrhea
- Kehilangan rambut yang cukup banyak (rontok)
- Suara usus hiperaktif
- Kurangnya informasi, misinformasi
Faktor-faktor yang berhubungan :
Ketidakmampuan
pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorpsi zat-zat gizi
berhubungan dengan faktor biologis, psikologis atau ekonomi.
|
NOC :
v Nutritional Status : food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
v Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
v Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
v Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
v Tidak ada tanda tanda malnutrisi
v Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
|
NIC :
Nutrition Management
§ Kaji adanya alergi makanan
§ Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
§ Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
§ Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
§ Berikan substansi gula
§ Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
§ Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
§ Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
§ Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
§ Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
§ Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
§ BB pasien dalam batas normal
§ Monitor adanya penurunan berat badan
§ Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
§ Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
§ Monitor lingkungan selama makan
§ Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
§ Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
§ Monitor turgor kulit
§ Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
§ Monitor mual dan muntah
§ Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
§ Monitor makanan kesukaan
§ Monitor pertumbuhan dan perkembangan
§ Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
§ Monitor kalori dan intake nuntrisi
§ Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.
§ Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet
|
7
|
Nyeri
Definisi :
Sensori
yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara
aktual atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya
kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional): serangan mendadak atau
pelan intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat diantisipasi
dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6
bulan.
Batasan karakteristik :
- Laporan secara verbal atau non verbal
- Fakta dari observasi
- Posisi antalgic untuk menghindari nyeri
- Gerakan melindungi
- Tingkah laku berhati-hati
- Muka topeng
- Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
- Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu makan dan minum
Faktor yang berhubungan :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis)
|
NOC :
v Pain Level,
v Pain control,
v Comfort level
Kriteria Hasil :
v Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
v Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
v Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
v Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
v Tanda vital dalam rentang normal
|
NIC :
Pain Management
§ Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
§ Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
§ Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
§ Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
§ Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
§ Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
§ Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
§ Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
§ Kurangi faktor presipitasi nyeri
§ Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)
§ Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
§ Ajarkan tentang teknik non farmakologi
§ Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
§ Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
§ Tingkatkan istirahat
§ Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
§ Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
§ Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
§ Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
§ Cek riwayat alergi
§ Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
§ Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
§ Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
§ Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
§ Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
§ Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
§ Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
|
8
|
Kerusakan intergritas kulit b/d edema dan menurunnya tingkat aktivitas
Definisi : Perubahan pada epidermis dan dermis
Batasan karakteristik :
- Gangguan pada bagian tubuh
- Kerusakan lapisa kulit (dermis)
- Gangguan permukaan kulit (epidermis)
Faktor yang berhubungan :
Eksternal :
- Hipertermia atau hipotermia
- Substansi kimia
- Kelembaban udara
- Faktor mekanik (misalnya : alat yang dapat menimbulkan luka, tekanan, restraint)
- Immobilitas fisik
- Radiasi
- Usia yang ekstrim
- Kelembaban kulit
- Obat-obatan
Internal :
- Perubahan status metabolik
- Tulang menonjol
- Defisit imunologi
- Faktor yang berhubungan dengan perkembangan
- Perubahan sensasi
- Perubahan status nutrisi (obesitas, kekurusan)
- Perubahan status cairan
- Perubahan pigmentasi
- Perubahan sirkulasi
- Perubahan turgor (elastisitas kulit)
|
NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
v Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)
v Tidak ada luka/lesi pada kulit
v Perfusi jaringan baik
v Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang
v Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
|
NIC : Pressure Management
§ Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
§ Hindari kerutan padaa tempat tidur
§ Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
§ Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
§ Monitor kulit akan adanya kemerahan
§ Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
§ Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
§ Monitor status nutrisi pasien
§ Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
|
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer
Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta :
EGC; 2001.2. Tucke
Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Ribera
JM, Oriol A. Acute lymphoblastic leukemia in adolescents and young
adults. Hematol Oncol Clin North Am. Oct 2009;23(5):1033-42.2.
Margolin JF, Steuber CP, Poplack DG. Acute lymphoblastic leukemia. In: Pizzo PAPoplack DG, eds. Principles and Practice of Pediatric Oncology. 15th ed. 2006:538-90.3.
Landier W, Bhatia S, Eshelman DA, Forte KJ, Sweeney T, Hester AL, et al.Development
of risk-based guidelines for pediatric cancer survivors: the
Children'sOncology Group Long-Term Follow-Up Guidelines from the
Children's OncologyGroup Late Effects Committee and Nursing Discipline. J
Clin Oncol. Dec 152004;22(24):4979-90.
Aster, Jon.2007.Sistem Hematopoietik dan Limfoid dalam Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC
Atul, Mehta dan A. Victor Hoffbrand. 2006.At a Glance Hematologi.Edisi 2. Jakarta: Erlangga
Baldy,
Catherine M.2006.Komposisi Darah dan Sistem Makrofag-Monosit dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Price,
Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease
Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed.Jakarta : EGC; 19945.
Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I. Jakarta : Salemba Medika; 2001.
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book, St. Louis
Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002, NANDA